Seperti biasa,
hari ini Mia berangkat jam 05.30. masih pagi memang. Ya, harus bagaiman lagi? Mia
haruss jalan kaki menuju jalan raya untuk menungggu bus, karena tidak ada
angkutan yang melewati rumahnya kecuali hanya angkutan desa berwarna kuning
yang menjadi ciri khasnya. Mia harus berjalan sejauh 1 km. Pengorbanan seorang
gadis untuk mendapatkan secuil ilmu dari sebuah tempat yang disebut sekolah. Mia
sudah biasa dengan semua ini.
Tapi, kali ini
Mia merasa berbeda. Tidak seperti biasanya, dia merasa kalau hari ini dia
dikuti oleh seseorang sejak ditengah perjalanan. Mia merasa takut, gelisah,
khawatir. Langkahnya semakin lebar dan cepat. Hampir setengah berlari. Dengan nafas
yang terengah-engah, akhirnya dia sampai di halte.
Setengah jam
berdesakan didalam bus, akhirnya Mia turun didepan sebuah gerbang sekolah
menengah atas, yaitu SMA Negeri 2 Bandung. Ya, memang Mia bersekolah disana.
Mia siswi yang cerdas. Beberapa kali dia mewakili sekolahnya berlomba dan Mia
selalu merebut juara 1. Sampai didepan kelas, dia melihat Sania, teman sebangku
sekaligus sahabat Mia yang duduk diteras depan kelas.
“Sania, lo tau
gak sih! Tau-tau nantu gue tambah kurus deh!” kata Mia dengan wajah cemberut.
“Haha, kenapa lo, Mia!? Berjejalan lagi di bus, ha?" tanya Sania sambil menahan tawa. Mia tidak menjawab. Dia hanya mengangkat alisnya, mengisyaratkan jika ia mengiyakan.
"Udah deh, disiasati aja deh, ia.." Sania menarik tangan Mia, masuk kedalam kelas.
"Ya tapi gimana?" tanya Mia setengah tak yakin dengan usul Sania.
"Ya lo tinggal berangkat lebih pagi aja dong!" kata Sania sambil membuka buku pelajaran.
"Buset deh!!? Lha gue harus berangkat jam berapa tuh dari rumah? Asal lo tau aja nih, gue aja biasanya nih berangkat dari rumah jam setengah 6 pagi.." ucap Mia makin putus asa.
"Ya paling nggak lo berangkatnya setengah jam lebih awal deh." kata Sania yang menasehati Mia yang lalu duduk di samping Sania. Bel jam pelajaran pertama melengking diudara.
Setelah
melewati 8 jam pelajaran disekolah, kini saatnya bel usai pelajaran yang
mengudara.
“Sania,
mampir warung bakso pojok dulu ya?” ajak Mia pada Sania. Mia menarik tangan
Sania tanpa menunggu Sania untuk
mengiyakan ajakannya. Tiba di warung bakso langganan mereka, mereka lalu
memilih duduk ditempat biasanya, dipojok warung. Karena itulah mereka
menyebutnya warung bakso pojok. Mereka hampir setiap hari datang ke warung
bakso tersebut. Merasa sudah nyaman dengan tempat duduk mereka, mereka lalu memesan
2 porsi bakso dan 2 gelas es teh.
“Ngapain, sih kesini? Bokek nih
gue!” adu Sania kepada Mia.
“Gue traktir deh!” Mia
menawarkan. Sania pun tersenyum.
“Huh, gaya lo! Senyam-senyum
kaya gitu. Maunya ditraktir.” Ejek Mia kepada Sania.
“Biarin, atau lo pengen nih gue
balik aja?” Sania menjulurkan lidahnya dan bangkit dari kursi hendak pergi,
tetapi sebenarnya Sania mengharap Mia mencegahnya. Dengan maksud bercanda.
“Eh, beneran! Gue mau curhat
nih!” akhirnya Mia benar-benar mencegah kepergian Sania. Sania tersenyum dalam
hatinya. Sania membalikkan badan dan kembali duduk berhadapan dengan Mia.
“Curhat? Tumben. Mau curhat
apaan emangnya?” Sania menyodongkan badannya. Dia tertarik dengan curhatan Mia.
“Tadi pagi, waktu gue berangkat
sekolah, gue diikutin sama cowok. Gue takut, Nia! Kalo aja dia cuma ngikutin
sampe halte. Tapi tadi itu dia ngikutin gue sampe sekolah. Ngeri ‘kan?” raut
wajah Mia mulai takut.
“Lo Cuma ge-er kali,” kata Sania
setengah bercanda.
“Serius!” Mia menyeruput es teh
yang ada dihadapannya. Perbincangan itu terus berlangsung diselingi dengan
bakso yang mereka pesan sebelumnya.
0 komentar:
Posting Komentar